Hukum Fiqih Seputar Ahli Kitab

Minggu, 01 Januari 2012

Oleh: Farid Nu’man Hasan

Pertanyaan:

Assalamu ‘Alaikum ..., Ust. Ana mau tanya:

1) Mengenai apakah Ahlul Kitab? Apakah zaman sekarang masih ada Ahlul kitab? Bagaimana menikah dengan Ahlul Kitab zaman sekarang, memakan sembelihannya, dan hal-hal lainnya yang berkenaan dengannya.

2) Hukum mengunjungi tetangga atau teman non muslim yang meninggal dunia (tidak untuk mendoakan tapi hanya berbela sungkawa)? Apakah Rasulullah pernah mencontohkannya?



Jawaban:

Wa ‘Alaikum salam wa rahmatullah wa barakatuh. Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’du:

Pertanyaan pertama: Tentang Ahli Kitab

I. Definisi

Makna Ahli Kitab adalah:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ ( أَهْل الْكِتَابِ ) هُمُ : الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى بِفِرَقِهِمُ الْمُخْتَلِفَةِ

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa Ahli Kitab, mereka adalah Yahudi dan Nasrani dengan berbagai firqah mereka yang berbeda-beda. (Ibnu ‘Abidin, 3/268, Fathul Qadir, 3/373, Penerbit Bulaq. Tafsir Al Qurthubi, 20/140, Darul Kutub. Al Muhadzdzab, 2/250, Al Halabi. Al Mughni, 7/501. Al Khulashah fi Ahkam Ahli Adz Dzimmah, 1/237. Al Mufashshal fi Syarh Asy Syuruth Al ‘Umariyah, 1/194)

Ada pun kalangan Hanafiyah memperluas makna Ahli Kitab, katanya:

إِنَّ أَهْل الْكِتَابِ هُمْ : كُل مَنْ يُؤْمِنُ بِنَبِيٍّ وَيُقِرُّ بِكِتَابٍ ، وَيَشْمَل الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى ، وَمَنْ آمَنَ بِزَبُورِ دَاوُدَ ، وَصُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَشِيثٍ . وَذَلِكَ لأِ نَّهُمْ يَعْتَقِدُونَ دِينًا سَمَاوِيًّا مُنَزَّلاً بِكِتَابٍ .

Sesungguhnya Ahli Kitab mereka adalah: setiap orang yang beriman kepada nabi dan mengakui kitab, meliputi Yahudi dan Nasrani, orang yang beriman kepada Zabur-nya Daud, Shuhuf-nya Ibrahim dan Syits. Demikian itu karena mereka meyakini agama dari langit (samawi) yang diturunkan dengan Kitab suci. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 7/140, Al Khulashah fi Ahkam Ahli Adz Dzimmah, 1/237. Al Mufashshal fi Syarh Asy Syuruth Al ‘Umariyah, 1/194)

Makna yang disampaikan kalangan Hanafiyah tentu lebih lengkap dan tepat pada zamannya, namun untuk zaman ini makna yang disampaikan oleh jumhur (mayoritas) fuqaha lebih tepat, mengingat Yahudi dan Nasrani-lah yang masih eksis dari golongan agama samawi dan pemilik kitab hingga saat ini.

II. Apakah Yahudi dan Nasrani zaman ini masih disebut Ahli Kitab? 


Sebagian kaum muslimin meyakini, bahwa zaman ini tidak ada lagi Ahli Kitab seperti yang dimaksud dalam Al Quran. Alasannya, karena mereka, Yahudi dan Nasrani, telah merubah ayat-ayat Allah ‘Azza wa Jalla yang terdapat dalam kitab suci mereka. Sehingga tidak pantas mereka menyandang sebutan ini.

Pendapat yang benar adalah bahwa Yahudi dan Nasrani zaman ini masih disebut Ahli Kitab, yang dengan itu berlaku hukum-hukum terkait Ahli Kitab untuk mereka.

Alasannya adalah:

A. Perubahan ayat-ayat Allah Ta’ala sudah mereka lakukan sebelum zaman Islam, sehingga jika mereka dianggap bukan Ahli Kitab karena ini, tentu sudah sejak dahulu mereka bukan di sebut Ahli Kitab.

Allah Ta’ala berfirman tentang perilaku mereka yang menulis kitab suci dengan karangan mereka sendiri:

فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ

Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. (QS. Al Baqarah (2): 79)

Ayat ini merupakan salah satu rangkaian kisah tentang perilaku orang Yahudi pada masa sebelum Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Artinya, dengan ini sungguh jelas terjadi perubahan ayat-ayat Allah Ta’ala oleh tangan-tangan kotor mereka sudah ada sebelum zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

B. Dalam Al Quran, Allah ‘Azza wa Jalla tetap menamakan dan memanggil mereka dengan sebutan Ahli Kitab.

Tentu kenyataan ini menjadi dalil yang jelas dan kuat bahwa panggilan Ahli Kitab tetap melekat bagi mereka, walau mereka telah merubah ayat-ayat Allah Ta’ala dalam kitab suci.

Dalam Al Quran, Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk memanggil mereka dengan sebutan: “Wahai Ahli Kitab ....” ketika mengajak mereka untuk mengikuti ajaran tauhid yang benar.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Katakanlah (Muhammad): "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (QS. Ali Imran (3): 64)

Tertulis dalam Tafsir Muyassar:

قل -أيها الرسول- لأهل الكتاب من اليهود والنصارى: تعالَوْا إلى كلمة عدل وحق نلتزم بها جميعًا: وهي أن نَخُص الله وحده بالعبادة، ولا نتخذ أي شريك معه، من وثن أو صنم أو صليب أو طاغوت أو غير ذلك ...

Katakanlah –wahai Rasul- kepada Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani: marilah berpegang kepada kalimat yang adil dan benar, yang semestinya kita bersama-sama memegang eratnya, yaitu mengkhususkan Allah satu-satunya dalam ibadah, dan tidak mengambil sekutu apapun bersamaNya, baik berupa berhala, patung, salib, atau thaghut, atau selain itu ... (Tafsir Al Muyassar, Hal. 363)

Walaupun mereka kafir, Allah ‘Azza wa Jalla masih menyebut mereka dengan sebutan Ahli Kitab, dan panggilan ini Allah ‘Azza wa Jalla ajarkan kepada RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Panggilan: Wahai orang-orang kafir ..., pernah Allah Ta’ala sebutkan tetapi untuk kaum musyrikin Quraisy dalam surat Al Kafirun, bukan untuk Ahli Kitab. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak menyamaratakan kedudukan orang kafir di dunia, oleh karenanya ada dampak fiqih –dalam beberapa hal- yang berbeda antara Ahli Kitab dan Musyrikin, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.

C. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menyebut mereka dengan Ahli Kitab.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggil mereka juga dengan sebutan Ahli Kitab, walau Al Quran telah menerangkan perilaku mereka yang telah merubah ayat-ayatNya. Nabi pun tahu bahwa mereka telah merubah ayat-ayatNya dalam kitab-kitab suciNya.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ

Janganlah kalian membenarkan Ahli Kitab, dan jangan pula mendustakannya. (HR. Bukhari No. 2684)

Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ ....

Aku berkata: “Wahai Nabiyallah, sesungguhnya kami tinggal di negerinya kaum Ahli Kitab, apakah kami boleh makan di wadah mereka .... dst

Jawaban nabi adalah:

أَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَلَا تَأْكُلُوا فِيهَا وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَاغْسِلُوهَا وَكُلُوا فِيهَا

Ada pun apa yang kamu ceritakan tentang Ahli Kitab, maka jika kamu mendapatkan selain bejana mereka, maka kamu jangan memakan menggunakan wadah mereka. Jika kamu tidak mendapatkan wadah lain, maka cuci saja wadah mereka dan makanlah padanya .. (HR. Bukhari No. 5478)

Kisah-kisah ini dan semisalnya, menunjukkan bahwa sebutan Ahli Kitab tidak pernah lepas dari Yahudi dan Nasrani. Oleh karenanya, panggilan ini tetap berlaku sampai kapan pun sebab tidak ada keterangan yang merubah sebutan mereka dari Ahli Kitab menjadi sebutan lain. Ada pun alasan bahwa mereka telah merubah kitab-kitab Allah maka tidak layak lagi dipanggil ahli kitab, sudah terjawab sebelumnya bahwa perubahan itu pun sudah mereka lakukan sebelum zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi mereka tetap dipanggil Ahli Kitab.

III. Ahli Kitab adalah kafir


Ini adalah keyakinan yang tetap, sebagaimana di sebutkan dalam Al Quran, As Sunnah, dan ijma’.

Allah Ta’ala menyebutkan kekafiran Ahli Kitab secara keseluruhan:

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (QS. Al Bayyinah (98): 1)

Dalam ayat ini disebutkan dua macam orang kafir, yakni Ahli Kitab dan Musyrikin. Maka, pembedaan ini menunjukkan berbeda mereka di sisi umat Islam, dalam kehidupan dunia, ada pun untuk kehidupan mereka di akhirat maka kaum muslimin meyakini bahwa mereka sama saja; neraka jahannam.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam ; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” (QS. Al Bayyinah (98): 6)

Para ulama menyebutkan bahwa yang disebut Al Kuffaar (orang-orang kafir) ada tiga golongan: Pertama. Ahli Kitab, Kedua, golongan yang memiliki kitab tapi bukan dari langit, seperti Majusi. Ketiga, para penyembeh berhala, mereka tanpa kitab apa pun. (Al Mausu’ah, 7/140)

Ada pun Ahli Kitab yang telah mengimani Allah dan RasulNya, tidak lagi dinamakan Ahli Kitab tapi dia adalah seorang muslim, dan dihukumi sebagai muslim, dan Allah Ta’ala menjanjikan mereka dengan surgaNya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَكَفَّرْنَا عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأَدْخَلْنَاهُمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ

Dan seandainya Ahli Kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka kedalam surga-surga yang penuh kenikmatan. (QS. Al Maidah (5): 65)

Mafhum mukhalafah (makna implisit) ayat ini menunjukkan bahwa mereka adalah kafir. Namun, jika mereka beriman dan betaqwa kepada Allah Ta’ala yaitu diawali dengan bersyahadah, maka mereka adalah muslim.

Tentang kafirnya Nasrani, Allah Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu." Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (QS. Al Maidah (5): 72-73)

Tentang kafirnya Yahudi, Allah Ta’ala berfirman:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

"Orang-orang Yahudi berkata: 'Uzair itu putra Allah' dan orang Nasrani berkata: 'Al Masih itu putra Allah'. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknati mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?" (QS. Al Taubah (9): 30)

Demikianlah keterangan Al Quran tentang kafirnya Ahli kitab; Yahudi dan Nasrani.

Ada pun dalam sunnah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menegaskan kafirnya Ahli Kitab yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

"Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam tanganNya, tidak seorangpun dari umat ini yang mendengarku, baik seorang Yahudi atau Nashrani, lalu ia meninggal dalam keadaan tidak beriman terhadap risalahku ini; melainkan ia menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim no. 153, Ahmad No. 8188, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 280, Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 307, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 3050, Ath Thayalisi dalam Musnadnya No. 509, 511)

IV. Sembelihan Ahli Kitab adalah Halal bagi umat Islam
Yaitu pada hewan yang memang Allah Ta’ala halalkan, seperti ternak, ayam, itik, dan semisalnya. Bukan hewan yang memang diharamkan dari sudut alasan lainnya, seperti babi, darah mengalir, bangkai, hewan hasil curian, hewan yang matinya tercekik, terjatuh, tertanduk, dan semisalnya. Ada pun makanan olahan yang di dalamnya ada unsur haram seperti lemak babi, arak, dan sejenisnya, tetaplah haram baik disembelih oleh orang Islam atau siapa saja.

Kebolehan memakan sembelihan mereka ditegaskan dalam Al Quran:

طَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (QS. Al Maidah (5): 5)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata tentang ayat ini:

ثم ذكر حكم ذبائح أهل الكتابين من اليهود والنصارى، فقال: { وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَبَ حِلٌّ لَكُمْ } قال ابن عباس، وأبو أمامة، ومجاهد، وسعيد بن جُبَيْر، وعِكْرِمة، وعَطاء، والحسن، ومَكْحول، وإبراهيم النَّخَعِي، والسُّدِّي، ومُقاتل بن حيَّان: يعني ذبائحهم.

Kemudian Allah menyebutkan hukum hewan sembelihan dua ahli kitab: Yahudi dan Nasrani, dengan firmanNya: (Makanan orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka), berkata Ibnu Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Said bin Jubeir, ‘Ikrimah, ‘Atha, Al Hasan, Mak-hul, Ibrahim An Nakha’i, As Suddi, dan Muqatil bin Hayyan: maknanya hewan sembelihan mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/40)

Demikian, makna Tha’aam (makanan) dalam ayat ini, yakni hewan sembelihan Ahli kitab.

Imam Ibnu Katsir melanjutkan:

وهذا أمر مجمع عليه بين العلماء: أن ذبائحهم حلال للمسلمين

Ini adalah perkara yang telah menjadi ijma’ (kesepakatan) di antara ulama: bahwa sembelihan mereka adalah halal bagi kaum muslimin. (Ibid)

Lalu, bagaimana dengan ayat yang melarang makan makanan yang tidak disebut nama Allah Ta’ala ?

Hukum dalam ayat tersebut telah dinasakh (dihapus) oleh Al Maidah ayat 5 ini. Imam Ibnu Katsir menjelaskan:

وقال ابن أبي حاتم: قرئ على العباس بن الوليد بن مَزْيَد، أخبرنا محمد بن شعيب، أخبرني النعمان بن المنذر، عن مكحول قال: أنزل الله: { وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ } [ الأنعام : 121 ] ثم نسخها الرب، عز وجل، ورحم المسلمين، فقال: { الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ } فنسخها بذلك، وأحل طعام أهل الكتاب.

Berkata Ibnu Abi Hatim: dibacakan kepada Al ‘Abbas bin Al Walid bin Mazyad, mengabarkan kepada kami Muhammad bin Syu’aib, mengabarkan kami An Nu’man bin Al Mundzir, dari Mak-hul, katanya: Allah menurunkan: (Janganlah kalian makan makanan yang tidak disebutkan nama Allah atasnya. (Al An’am: 121), lalu Allah ‘Azza wa Jalla menghapusnya dan memberikan kasih sayang bagi kaum muslimin, lalu berfirman: (Hari ini telah dihalalkan bagimu yang baik-baik, dan makanan Ahli Kitab halal bagimu) , maka ayat itu telah dihapuskan dengannya, dan telah dihalalkan makanan (sembelihan) Ahli Kitab. (Ibid)

Namun ketetapan ini tidak berlaku bagi sembelihan kaum musyrikin (penyembah berhala), mereka membaca atau tidak, tetap diharamkan karena hukum di atas hanya berlaku bagi Ahli kitab.

Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

قَال ابْنُ قُدَامَةَ : أَجْمَعَ أَهْل الْعِلْمِ عَلَى إِبَاحَةِ ذَبَائِحِ أَهْل الْكِتَابِ ؛ لِقَوْل اللَّهِ تَعَالَى : { وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ } يَعْنِي ذَبَائِحَهُمْ .

قَال ابْنُ عَبَّاسٍ : طَعَامُهُمْ ذَبَائِحُهُمْ ، وَكَذَلِكَ قَال مُجَاهِدٌ وَقَتَادَةَ ، وَرُوِيَ مَعْنَاهُ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ .

وَأَكْثَرُ أَهْل الْعِلْمِ يَرَوْنَ إِبَاحَةَ صَيْدِهِمْ أَيْضًا ، قَال ذَلِكَ عَطَاءٌ وَاللَّيْثُ وَالشَّافِعِيُّ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ ، وَلاَ نَعْلَمُ أَحَدًا ثَبَتَ عَنْهُ تَحْرِيمُ صَيْدِ أَهْل الْكِتَابِ .

وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ الْعَدْل وَالْفَاسِقِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَهْل الْكِتَابِ .

وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ الْحَرْبِيِّ وَالذِّمِّيِّ فِي إِبَاحَةِ ذَبِيحَةِ الْكِتَابِيِّ مِنْهُمْ ، وَتَحْرِيمِ ذَبِيحَةِ مَنْ سِوَاهُ . وَسُئِل أَحْمَدُ عَنْ ذَبَائِحِ نَصَارَى أَهْل الْحَرْبِ فَقَال : لاَ بَأْسَ بِهَا . وَقَال ابْنُ الْمُنْذِرِ : أَجْمَعَ عَلَى هَذَا كُل مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْل الْعِلْمِ ، مِنْهُمْ مُجَاهِدٌ وَالثَّوْرِيُّ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ ، وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ الْكِتَابِيِّ الْعَرَبِيِّ وَغَيْرِهِمْ ؛ لِعُمُومِ الآْيَةِ فِيهِمْ .

Ibnu Qudamah berkata: Ulama telah ijma’ bolehnya hewan sembelihan Ahli kitab, karena firmanNya Ta’ala: (Makanan orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu) yakni sembelihan-sembelihan mereka.

Ibnu Abbas mengatakan: makanan mereka artinya sembelihan-sembelihan mereka, ini juga dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, dan diriwayatkan maknanya dari Ibnu Mas’ud.

Mayoritas ulama juga memandang bolehnya hasil buruan mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Atha, Al Laits, Asy Syafi’i, ashhabur ra’yi (kaum rasionalis – pengikut Abu Hanifah, pen), dan kami tidak ketahui riwayat pasti darinya yang mengharamkan hasil buruan Ahli Kitab.

Tidak ada perbedaan antara orang adil dan fasik dari kaum muslimin dengan Ahli Kitab (dalam hal ini, pen).

Tidak ada perbedaan pula antara Ahli Kitab harbi dan dzimmi dalam kebolehan hewan sembelihan di antara mereka, dan (tak ada perbedaan) dalam keharaman sembelihan selainnya (maksudnya haramnya sembelihan kaum musyrikin, pen). Ahmad ditanya tentang sembelihan orang Nasrani yang ahlul harbi, dia menjawab: “Tidak apa-apa.” Ibnul Mundzir mengatakan: “Hal ini telah disepakati, kami telah hapal dari para ulama tentang hal ini, di antaranya: Mujahid, Ats Tsauri, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan ashhabur ra’yi, dan tidak ada perbedaan antara Ahli Kitab Arab dan non Arab, karena ayatnya berbicara secara umum. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 7/142. Juga Imam Ibnu Qudamah, Syarhul Kabir, 11/46. Darul Kitab Al ‘Arabi)

V. Laki-Laki Muslim Menikahi Wanita Ahli Kitab
Allah Ta’ala berfirman:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu. (QS. Al Maidah (5): 5)

Ayat ini menunjukkan kebolehan bagi laki-laki muslim menikahi wanita Ahli Kitab yang menjaga kehormatan dirinya, bukan sembarang wanita Ahli Kitab. Pembolehan ini adalah pendapat mayoritas ulama, hanya saja telah terjadi perbedaan pendapat dalam memahami ‘jenis’ wanita Ahli Kitab yang boleh dinikahi. Wanita Ahli Kitab yang seperti apa?

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

ثم اختلف المفسرون والعلماء في قوله: { وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ } هل يعم كل كتابية عفيفة، سواء كانت حرة أو أمة؟ حكاه ابن جرير عن طائفة من السلف، ممن فسر المحصنة بالعفيفة. وقيل: المراد بأهل الكتاب هاهنا الإسرائيليات، وهو مذهب الشافعي. وقيل: المراد بذلك: الذميات دون الحربيات؛ لقوله: { قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ } [ التوبة : 29 ]

Kemudian, para ahli tafir dan ulama berbeda pendapat tentang firmanNya Ta’ala: (wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu) apakah berlaku umum untuk semua wanita Ahli Kitab yang menjaga dirinya, sama saja baik itu yang merdeka atau yang budak? Ibnu Jarir menceritakan dari segolongan ulama salaf ada yang menafsirkan Al Muhshanah adalah wanita yang menjaga kehormatannya (Al ‘Afiifah). Dikatakan pula: maksud dengan Ahli Kitab di sini adalah wanita-wanita Israel (Al Israiliyat), dan ini pendapat Asy Syafi’i. Ada juga yang mengatakan: dzimmiyat (wanita kafir dzimmi), bukan harbiyat (wanita kafir harbi), karena Allah Ta’ala berfirman: (Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk). (QS. At Taubah (9): 29). (Lihat Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/42)

Bagi kami, wanita Ahli Kitab yang boleh dinikahi adalah wanita yang paling mudah untuk didakwahi dan besar peluangnya untuk diarahkan kepada Islam, baik dia wanita Yahudi, Nasrani, Harbiyat, dan Dzimmiyat. Jika, peluang ini kecil bahkan tidak ada, maka menikahi wanita muslimah adalah jauh lebih baik dari menikahi mereka. Bahkan menikahi wanita Ahli Kitab dapat menjadi terlarang jika kaum laki-laki muslimnya termasuk yang minim pemahaman agama dan lemah aqidahnya, sehingga justru memungkinkan dirinya yang mengikuti agama isterinya.

Pembolehan menikahi wanita Ahli Kitab, juga menjadi umumnya pendapat sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan mereka pun melakukannya.

Berikut keterangannya:

عن ابن عباس قال: لما نزلت هذه الآية: { وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ } قال: فحجز الناس عنهن حتى نزلت التي بعدها: { وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ } فنكح الناس من نساء أهل الكتاب.

وقد تزوج جماعة من الصحابة من نساء النصارى ولم يروا بذلك بأسا، أخذا بهذه الآية الكريمة: { وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ } فجعلوا هذه مخصصة للآية التي البقرة: { وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ }

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: ketika ayat ini turun (Janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman), maka manusia menahan dirinya dari mereka, hingga turun ayat setelahnya: (dihalalkan menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu) maka manusia menikahi wanita-wanita Ahli Kitab.

Segolongan sahabat nabi telah menikahi wanita-wanita Nasrani, dan mereka memandang hal itu tidak masalah. Hal itu berdasarkan ayat yang mulia: (wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu) mereka menjadikan ayat ini sebagai pengkhususan terhadap ayat di Al Baqarah: (janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman). (Ibid)

Sebagian sahabat nabi –seperti Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma- ada yang mengharamkan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita Nasrani, karena menurut mereka Nasrani juga musyrik, sedangkan wanita musyrik dilarang untuk dinikahi.

Disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir:

وقد كان عبد الله بن عمر لا يرى التزويج بالنصرانية، ويقول: لا أعلم شركا أعظم من أن تقول: إن ربها عيسى، وقد قال الله تعالى: { وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ } الآية [ البقرة : 221 ]

Abdullah bin Umar memandang tidak boleh menikahi wanita Nasrani, dia mengatakan: “Saya tidak ketahui kesyirikan yang lebih besar dibanding perkataan: sesungguhnya Tuhan itu adalah ‘Isa, dan Allah Ta’ala telah berfirman: (Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sampai dia beriman). (QS. Al Baqarah (2); 122). (Ibid)

Hikmah pembolehan ini adalah karena umumnya kaum laki-laki-lah yang mengendalikan rumah tangga dan bisa mengajak isterinya kepada agama tauhid. Wallahu A’lam

Ada pun dengan wanita-wanita Non Ahli Kitab yakni musyrik, laki-laki muslim tetap dilarang menikahi mereka. Dalilnya adalah:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (QS. Al Baqarah (2): 221)

Jadi, pembolehan hanya berlaku dengan wanita Ahli Kitab, tidak berlaku untuk wanita musyrik, kecuali jika mereka beriman.

VI. Wanita Muslimah menikahi laki-laki Ahli Kitab
Sekarang sebaliknya, seorang wanita muslimah menikahi laki-laki Yahudi atau Nasrani. Kasus ini memiliki nilai lain dengan di atas. Islam telah melarang hal ini terjadi, namun tidak sedikit wanita muslimah yang melanggarnya. Larangan ini berdasarkan Al Quran, As Sunnah, dan ijma’.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS. Al Mumtahanah (60): 10)

Berkata Imam Al Qurthubi Rahimahullah tentang ayat (maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka ):

أي لم يحل الله مؤمنة لكافر، ولا نكاح مؤمن لمشركة.

Yaitu Allah tidak menghalalkan wanita beriman untuk orang kafir, dan tidak boleh laki-laki beriman menikahi wanita musyrik. (Imam Al Qurthubi, Jami’ul Ahkam, 18/63. Tahqiq: Hisyam Samir Al Bukhari. Dar ‘Alim Al Kutub, Riyadh)

Dalam As Sunnah, adalah Zainab puteri Rasulullah menikahi Abu Al ‘Ash yang masih kafir. Saat itu belum turun ayat larangan pernikahan yang seperti ini. Ketika turun ayat larangannya, maka meninggalkannya selama enam tahun hingga akhirnya Abu Al ‘Ash masuk Islam. Akhirnya nabi mengulangi pernikahan mereka dengan akad yang baru.

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:

رَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْنَتَهُ زَيْنَبَ عَلَى أَبِي الْعَاصِي بْنِ الرَّبِيعِ بَعْدَ سِتِّ سِنِينَ بِالنِّكَاحِ الْأَوَّلِ

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengembalikan puterinya, Zainab, kepada Abu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ setelah enam tahun lamanya, dengan pernikahan awal. (HR. At Tirmidzi No. 1143, katanya: “isnadnya tidak apa-apa.” Ibnu Majah No. 2009, Abu Daud No. 2240, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 2811, 6693, Ahmad No. 1876)

Imam Ibnul Qayyim mengatakan: “Dishahihkan oleh Imam Ahmad.” (Lihat Tahdzibus Sunan, 1/357). Imam Al Hakim menshahihkannya, katanya sesuai syarat Imam Muslim. (Al Mustadrak No. 6693). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 1876). Syaikh Al Albani menshahihkannya. (Irwa’ Al Ghalil No. 1961)

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan bahwa larangan tersebut adalah ijma’, katanya:

وَالْإِجْمَاعُ الْمُنْعَقِدُ عَلَى تَحْرِيمِ تَزَوُّجِ الْمُسْلِمَاتِ عَلَى الْكُفَّارِ

Dan, telah menjadi ijma’ (konsensus) yang kuat atas haramnya wanita muslimah menikahi orang-orang kafir. (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 15/203. Mawqi’ Al Islam)

Disamping larangan menurut tiga sumber hukum Islam (Al Quran, As Sunah, dan Ijma’), hal ini juga terlarang karena biasanya isteri mengikuti suami. Jika suami kafir, maka besar kemungkinan ia akan mengendalikan anak isterinya untuk mengikuti agamanya. Sekalipun itu tidak terjadi, hal ini tetap terlarang menurut Al Quran, As Sunnah dan Ijma’.

Syaikh Wahbah Az Zuhailli Hafizhahullah menjelaskan:

ولأن في هذا الزواج خوف وقوع المؤمنة في الكفر؛ لأن الزوج يدعوها عادة إلى دينه، والنساء في العادة يتبعن الرجال فيما يؤثرون من الأفعال، ويقلدونهم في الدين، بدليل الإشارة إليه في آخر الآية: {أولئك يَدْعون إلى النار} [البقرة:221/2] أي يدعون المؤمنات إلى الكفر، والدعاء إلى الكفر دعاء إلى النار؛ لأن الكفر يوجب النار، فكان زواج الكافر المسلمة سبباً داعياً إلى الحرام، فكان حراماً باطلاً.

Dikarenakan pada pernikahan ini dikhawatirkan terjatuhnya wanita muslimah dalam kekafiran, karena biasanya suami akan mengajaknya kepada agamanya, dan para isteri biasanya mengikuti para suami, dan mengekor agama mereka, ini tekah diisyaratkan pada akhir ayat: (mereka itu mengajak kepada neraka) (QS. Al Baqarah (2): 122), yaitu metreka mengajak wanita-wanita beriman kepada kekafiran, dan ajakan kepada kekafiran merupakan ajakan kepada neraka, karena kekafiran mesti masuk ke neraka, maka menikahnya laki-laki kafir dengan muslimah merupakan sebab kepada keharaman, maka itu adalah haram dan batil. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu, 9/144)

Dalam Majalah Majma’ Al Fiqh Al Islami (Majalah Lembaga Fiqih Islam) disebutkan sebuah jawaban dari masalah ini:

لا يجوز زواج المسلمة بغير المسلم بأي حال من الأحوال لأنه يؤدي إلى تغيير المسلمة لضعفها بدليل قوله تعالى { وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ } الآية { لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ } .

Tidak boleh muslimah menikahi non muslim, apa pun keadaanya, karena itu menjadi sebab perubahan bagi muslimah karena dia lemah. Dalilnya adalah firmanNya: (Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu), dan ayat (Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka). (Majalah Majma’Al Fiqh Al Islami, 3/1067. Syamilah)

Jika pernikahan itu terjadi juga, maka mereka terus menerus dalam perzinahan. Ada pun pihak-pihak yang membantu terjadinya pernikahan tersebut, baik penghulu, saksi, dan wali, dan orang-orang yang merestui mereka, ikut bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran ini. Allahul Musta’an!

VII. Najiskah Tubuh Ahli Kitab dan Wadah Mereka?
Tidak ada yang najis, kecuali yang disebutkan oleh syariat. Oleh karenanya, jika tak ada keterangan yang menyebutkan bahwa tubuh kaum Ahli Kitab adalah najis, maka tubuh mereka adalah suci sebagaimana sucinya tubuh kaum muslimin. Bahkan, ini juga berlaku bagi kaum musyrikin. Telah menjadi ijma’ –sebagaimana dikatakan Imam An Nawawi, bahwa tubuh mereka adalah suci, yang najis adalah aqidah mereka yang musyrik, bukan tubuhnya.

Tentang ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang muysrik itu najis.” Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:

بِأَنَّ الْمُرَادَ أَنَّهُمْ نَجَسٌ فِي الِاعْتِقَادِ وَالِاسْتِقْذَارِ وَحُجَّتهمْ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ نِكَاح نِسَاء أَهْلِ الْكِتَابِ

“Sesungguhnya maksud bahwa mereka najis adalah najis pada aqidahnya dan kotor. Hujjah mereka (mayoritas ulama) adalah sesungguhnya Allah Ta’ala membolehkan menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). “ (Fathul Bari, 1/390)

Jadi, bagaimana mungkin syariat membolehkan menikahi wanita mereka, namun di sisi lain menajiskan tubuh mereka?

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وَذَكَرَ الْبُخَارِيّ فِي صَحِيحه عَنْ اِبْن عَبَّاس تَعْلِيقًا : الْمُسْلِم لَا يَنْجُس حَيًّا وَلَا مَيِّتًا . هَذَا حُكْم الْمُسْلِم . وَأَمَّا الْكَافِر فَحُكْمه فِي الطَّهَارَة وَالنَّجَاسَة حُكْم الْمُسْلِم هَذَا مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْجَمَاهِير مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف . وَأَمَّا قَوْل اللَّه عَزَّ وَجَلَّ : { إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس } فَالْمُرَاد نَجَاسَة الِاعْتِقَاد وَالِاسْتِقْذَار ، وَلَيْسَ الْمُرَاد أَنَّ أَعْضَاءَهُمْ نَجِسَة كَنَجَاسَةِ الْبَوْل وَالْغَائِط وَنَحْوهمَا . فَإِذَا ثَبَتَتْ طَهَارَة الْآدَمِيّ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا ، فَعِرْقه وَلُعَابه وَدَمْعه طَاهِرَات سَوَاء كَانَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاء ، وَهَذَا كُلّه بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا قَدَّمْته فِي بَاب الْحَيْض

“Imam Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya, dari Ibnu Abbas secara mu’alaq (tidak disebut sanadnya): Seorang muslim tidaklah najis baik hidup dan matinya. Ini adalah hukum untuk seorang muslim. Ada pun orang kafir maka hukum dalam masalah suci dan najisnya adalah sama dengan hukum seorang muslim (yakni suci). Ini adalah madzhab kami dan mayoritas salaf dan khalaf. Ada pun ayat (Sesungguhnya orang musyrik itu najis) maka maksudnya adalah najisnya aqidah yang kotor, bukan maksudnya anggota badannya najis seperti najisnya kencing, kotorannya , dan semisalnya. Jika sudah pasti kesucian manusia baik dia muslim atau kafir, maka keringat, ludah, darah, semuanya suci, sama saja apakah dia sedang berhadats, atau junub, atau haid, atau nifas. Semua ini adalah ijma’ kaum muslimin sebagaimana yang telah lalu saya jelaskan dalam Bab Haid.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/87. Mawqi’ Ruh Al Islam) selesai

Untuk kaum musyrikin, sebenarnya tidak ada ijma’ dalam sucinya tubuh mereka sebagaimana klaim Imam An Nawawi. Sebab, Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berpendapat bahwa sesuai zahir ayat: innamal musyrikun najasun – (sesungguhnya orang musyrik itu najis), maka tubuh orang musyrik itu najis sebagaimana najisnya babi dan anjing. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Al Hasan Al Bashri, katanya: “Barang siapa yang bersalaman dengan mereka maka hendaknya berwudhu.” (Lihat Tafsir Ayat Al Ahkam, 1/282)

Ini juga menjadi pendapat kaum zhahiriyah. Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

فالجمهور على أنه ليس بنجس البدن والذات؛ لأن الله تعالى أحل طعام أهل الكتاب، وذهب بعض الظاهرية إلى نجاسة أبدانهم.

Maka, menurut jumhur bukanlah najis badan dan zatnya, karena Allah Ta’ala menghalalkan makanan Ahli Kitab, dan sebagian Zhahiriyah menajiskan badan mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/131)

Namun yang shahih adalah pendapat jumhur bahwa mereka adalah suci, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ayat Al Ahkam berikut ini:

الترجيح : الصحيح رأي الجمهور لأن المسلم له أن يتعامل معهم ، وقد كان عليه السلام يشرب من أواني المشركين ، ويصافح غير المسلمين والله أعلم .

Tarjih: yang shahih adalah pendapat jumhur (mayoritas) karena seorang muslim berinteraksi dengan mereka, dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum dari wadah kaum musyrikin, dan bersalaman dengan non muslim. Wallahu A’lam (Ibid)

Untuk wadah ( Al Aaniyah) milik mereka, berikut keterangannya:

ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ ، وَهُوَ أَحَدُ قَوْلَيْنِ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ : إِلَى جَوَازِ اسْتِعْمَال آنِيَةِ أَهْل الْكِتَابِ إِلاَّ إِذَا تَيَقَّنَ عَدَمَ طَهَارَتِهَا . وَصَرَّحَ الْقَرَافِيُّ الْمَالِكِيُّ بِأَنَّ جَمِيعَ مَا يَصْنَعُهُ أَهْل الْكِتَابِ مِنَ الأَْطْعِمَةِ وَغَيْرِهَا مَحْمُولٌ عَلَى الطَّهَارَةِ . وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيَّةِ ، وَالرِّوَايَةُ الأُْخْرَى عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ : أَنَّهُ يُكْرَهُ اسْتِعْمَال أَوَانِي أَهْل الْكِتَابِ ، إِلاَّ أَنْ يَتَيَقَّنَ طَهَارَتَهَا فَلاَ كَرَاهَةَ

Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, dan ini salah satu pendapat Hanabilah: bahwa boleh saja menggunakan wadah-nya Ahli Kitab, kecuali jika diyakini sudah hilang kesuciannya. Al Qarrafi Al Maliki menjelaskan bahwa semua yang dibuat oleh Ahli Kitab baik berupa makanan dan selainnya, dimungkinkan kesuciannya. Sedangkan pendapat Syafi’iyah, dan riwayat lain dari Hanabilah: bahwa makruh menggunakan wadah Ahli Kitab, kecuali jika sudah diyakini kesuciannya, maka tidak makruh. (Al Mausu’ah, 7/143)

Maka, jika kita lihat keterangan ini, semua madzhab sepakat bahwa bolehnya menggunakan wadah mereka jika wadah itu suci. Jika hilang kesuciannya, maka tidak boleh menggunakannya. Ini pun, sebenarnya juga berlaku bagi wadah umat Islam, yakni harus suci. Tidak mungkin syariat membolehkan wadah yang najis, hanya karena dia adalah milik seorang muslim. Yang jelas, milik siapa pun wadah itu, jika sudah disucikan maka tidak apa-apa menggunakannya.

Namun demikian, bagi seorang muslim yang wara’ (hati-hati dengan yang haram) mereka akan mengutamakan wadah-wadah milik kaum muslimin. Sebab hampir bisa dipastikan kaum muslimin tidak akan memasukkan zat-zat najis ke dalam wadah mereka, seperti lemak babi, arak, dan semisalnya. Ada pun kaum Ahli Kitab dan musyrik, ada kemungkinan mereka pernah menggunakan zat-zat najis ke dalam wadah mereka, walaupun sekali dalam hidupnya.

Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam walaupun membolehkan makan menggunakan wadah Ahli Kitab jika suci, Beliau tetap lebih mendahulukan tidak menggunakannya selama masih ada alternatif wadah (baik piring, mangkok, nampan, ember, panci, wajan, bak) milik kaum muslimin.

Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ ....

Aku berkata: “Wahai Nabiyallah, sesungguhnya kami tinggal di negerinya kaum Ahli Kitab, apakah kami boleh makan di wadah mereka .... dst

Jawaban nabi adalah:

أَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَلَا تَأْكُلُوا فِيهَا وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَاغْسِلُوهَا وَكُلُوا فِيهَا

Ada pun apa yang kamu ceritakan tentang Ahli Kitab, maka jika kamu mendapatkan selain bejana mereka, maka kamu jangan memakan menggunakan wadah mereka. Jika kamu tidak mendapatkan wadah lain, maka cuci saja wadah mereka dan makanlah padanya .. (HR. Bukhari No. 5478)

Wallahu A’lam

VIII. Bolehkah Ahli Kitab masuk masjid?
Hal ini diperselisihkan ulama, namun pandangan yang lebih kuat adalah boleh, karena pada zaman nabi kaum musyrikin pernah bermalam di masjid nabi. Jika seorang musyrik boleh, maka Ahli Kitab juga boleh.

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berkata:

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَبِيتَ الْمُشْرِكُ في كل مَسْجِدٍ إلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ فإن اللَّهَ عز وجل يقول { إنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هذا }

Tidak apa-apa orang musyrik bermalam di semua masjid kecuali masjidil haram, karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: (sesungguhnya orang musyrik itu najis maka janganlah mereka mendekati masjidil haram setelah tahun mereka ini). (Al Umm, 1/54. Darul Ma’rifah)

Alasan lain, karena dahulu Jubair bin Muth’im –ketika masih musyrik- pernah bermalam di masjid, bahkan mendengarkan pembacaan Al Quran. (Ibid)

Sementara Imam An Nawawi dan Imam Ar Rafi’i –keduanya tokoh madzhab syafi’i- mengatakan secara mutlak orang kafir boleh masuk ke masjid mana saja, kecuali masjidil haram, namun bolehnya itu jika diizinkan kaum muslimin. Jika tidak diizinkan maka tidak boleh masuk, inilah pendapat yang benar. (Lihat Al Mausu’ah, 37/221)

Sedangkan kalangan Hanafiyah mengatakan bahwa boleh saja orang kafir masuk ke semua masjid, termasuk masjidil haram, karena nabi pernah menyambut Tsaqif di masjid, dan dia seorang kafir. Beliau bersabda: Sesungguhnya tidaklah bumi menjadi najis karena manusia, tetapi najisnya manusia adalah untuk diri mereka sendiri.

Malikiyah melarang mereka masuk ke masjid, boleh saja masuk jika diizinkan kaum muslimin dan ada hal mendesak untuk memasukinya seperti menyambut kabilah, jika tidak begitu, maka tidak boleh.

Hanabilah (Hambaliyah) juga melarang orang kafir masuk ke semua masjid, kecuali dengan izin kaum muslimin. Pendapat lain dari Hambaliyah adalah boleh. (Ibid)

Terkain dengan “izin” kaum muslimin, maka hal ini mesti menjadi syarat. Sebab dahulu delegasi Nasrani Bani Najran pernah mendatangi masjid nabi dan mereka ibadah di dalam masjid itu, para sahabat mencegahnya, namun nabi mengizinkannya.

Berikut dikatakan Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah:

قال ابن إسحاق: وفد على رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وفدُ نصارى نجران بالمدينة، فحدَّثنى محمد بن جعفر بن الزبير، قال: لما قدم وفد نجرانَ على رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، دخلُوا عليه مسجدَه بعد صلاة العصر، فحانت صلاتُهم، فقاموا يُصَلُّون فى مسجده، فأراد الناسُ منعهم، فقال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "دَعُوهُم" فاسْتَقْبَلُوا المَشْرِقَ، فَصَلَّوا صَلاَتَهُمْ.

Berkata Ibnu Ishaq: Di Madinah, datang delegasi Nasrani Najran kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Ja’far bin Az Zubeir, katanya: ketika ketika delegasi Najran datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka masuk ke dalam masjid setelah shalat ashar, ketika datang waktu ibadah mereka, mereka bangun untuk mendirikan ibadah mereka di masjid nabi, maka manusia mencegahnya, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Biarkan mereka.” Lalu mereka menghadap ke Timur, dan melaksanakan ibadah mereka. (Zaadul Ma’ad, 3/629. Cet. 27, 1994M-1415H. Muasasah Ar Risalah, Beirut)

Kisah ini menunjukkan kebolehan Ahli Kitab masuk ke masjid, namun sebagusnya dengan izin kaum muslimin sebagaimana terlihat dalam kisah ini juga. Wallahu A’lam

IX. Warisan Ahli Kitab
Ijma’ (kesepakatan) ulama menyatakan bahwa orang kafir tidak berhak mendapatkan waris (diwarisi) begitu pula orang murtad.

Berkata Imam Ahmad Rahimahullah:

لَيْسَ بَيْنَ النَّاسِ اخْتِلَافٌ فِي أَنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَرِثُ الْكَافِرَ

Tidak ada perbedaan pendapat di antara manusia (umat Islam) bahwa seorang muslim tidak mewariskan hartanya kepada orang kafir. (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 14/58. Mawqi’ Al Islam)

Sedangkan sebaliknya apakah orang kafir boleh mewarisi hartanya kepada muslim? jumhur (mayoritas) ulama mengatakan orang kafir tidak boleh mewarisi ke orang Islam. Inilah pandangan empat khulafa’ ar rasyidin, Imam empat madzhab, dan mayoritas fuqaha yang diamalkan oleh umat Islam secara umum. Mereka beralasan hadits-hadits berikut:

لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

“Seorang muslim tidaklah mewariskan ke orang kafir, dan orang kafir tidaklah mewariskan ke seorang muslim.” (HR. Bukhari No. 6764, Muslim No. 1614, At Tirmidzi No. 2107, dari Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, dan lafaz ini adalah milik Imam Bukhari)

Hadits lain:

لَا يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ

“Penganut dua agama yang berbeda tidaklah saling mewarisi.” (HR. At Tirmidzi No. 2108, dari Jabir bin Abdullah).

Imam At Tirmidzi tidak tegas mendhaifkan hadits ini, dia hanya berkata dalam Sunan-nya: “Aku tidak mengetahui hadits Jabir kecuali dari jalur Ibnu Abi Laila.” Tetapi, Al Hafiz Ibnu Hajar mengatakan tentang Abdurrahman bin Abi Laila ini: “Seorang yang jujur tetapi sangat buruk hafalannya”. (Lihat Taqribut Tahdzib, 2/105). Sementara Asy Syaukani mengatakan: “Sementara dari jalur Ibnu Umar, hadits ini juga dikeluarkan oleh Ad Daruquthni, Ibnu Sikkin, dan dalam sanad Abu Daud terdapat Amru bin Syu’aib, dia shahih”. (Nailul Authar, 6/73. Al Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah Syabab Al Azhar) sementara Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini, baik jalur Jabir bin Abdullah maupun Usamah bin Zaid. (Shahihul Jami’ , No. 7613)

Namun, sebagian sahabat, tabi’in dan imam kaum muslimin ada yang membolehkan seorang muslim memperoleh harta waris dari orang kafir, yakni Muadz bin Jabal, Muawiyah, Said bin Al Musayyib, Masruq, dan lainnya. (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, hadits No. 3027. Mauqi’ Ruh Al Islam) Juga Muhammad bin Al Hanafiyah, Ali bin Al Husein, Abdullah bin Ma’qil, Asy Sya’bi, An Nakha’i, Yahya bin Ya’mar, dan Ishaq. (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 14/58. Mawqi’ Al Islam) Ini juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim.(Ahkam Ahludz Dzimmah, 3/322-325. Darul Kutub Al ‘Ilmiah) juga pendapat Al ‘Allamah Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah dalam Fatawa Mu’ashirah Jilid 3. Alasan mereka, makna kafir pada hadits di atas adalah kafir harbi. Alasan lain adalah hadits berikut, Hadits dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Islam itu bertambah, dan tidak berkurang.” (HR. Abu Daud, No. 2912. Ahmad, N0. 20998)

Namun hadits ini tidak bisa dijadikan dalil, karena kelemahannya. Imam Al Munawi mengatakan, dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang majhul (tidak dikenal) dan dhaif. (Faidhul Qadir, 3/232, No. 3062. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) begitu pula Syaikh Al Albani telah mendhaifkan hadits ini. (Dha’if Jami’us Shaghir No. 2282) Ada jalur sanad lainnya, namun nasibnya lebih buruk, Imam Ibnul Jauzi menyebutnya batil, lantaran adanya seorang rawi bernama Muhammad bin Al Muhajir yang dituduh memalsukan hadits ini. Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa orang ini memalsukan hadits, dia meriwayatkan lalu merubah sanad dan lafaznya. (Al Maudhu’at, 3/230.)

Andaikan hadits ini shahih, itu juga tidak bisa dijadikan dalil. Imam Al Qurthubi mengatakan:

الحديث ليس نصا في المراد بل محصوله أنه يفضل غيره من الأديان ولا تعلق له بالإرث

Hadits ini bukanlah nash yang bermaksud seperti itu, tetapi maksudnya adalah tentang keutamaan Islam dibanding agama lainnya, dan tidak ada kaitan dengan warisan. (Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 3/323)

Dalil lain kelompok yang membolehkan:

الإسلام يعلو ولا يعلى

“Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi (darinya)” (HR. Ad Daruquthni, No. 30, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 6/205. Keduanya dari ‘A’idz bin Amru Al Muzanni. Demikianlah lafaz hadits ini adalah Al Islam Ya’lu wa Laa Yu’la, tanpa tambahan ‘Alaih. Ada pun tambahan ‘Alaih ada dalam riwayat Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Syarh Al Ma’ani Al Aatsar No. 4869)

Imam Az Zaila’i mengatakan hadits ini ada yang marfu’ (sampai pada Rasulullah) dan juga mauquf (terhenti pada sahabat saja) yakni pada ucapan Ibnu Abbas. (Nashbur Rayyah, 6/174) dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Hasyraj dan ayahnya, oleh Ad Daruquthni kedua orang itu dikatakan majhul (tidak dikenal). (Ibid) oleh karenanya sanad hadits ini dhaif. Namun, Al Hafizh Ibnu Hajar menghasankan hadits ini (Fathul Bari, 3/220. Darul Fikr) lantaran dikuatkan oleh riwayat shahih secara mauquf dari Ibnu Abbas. (Shahih Bukhari, Kitab Al Janaiz, Bab Idza Aslama Ash Shabiyyu famaata hal yushalli ‘alaih wa hal yu’radhu ‘ala Ash Shabiyyi Al Islam) dan Syaikh Al Albani juga menghasankannya.(Shahihul Jami’ No. 2778). Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim menshahihkannya. (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 8/86). Imam Al ‘Ajluni mengatakan telah masyhur di lisan manusia tambahan ‘Alaih Akharan, tetapi itu sebenarnya riwayat Ahmad, dan juga yang masyhur Ya’lu walaa Yu’laa ‘Alaih (Kasyful Khafa, 1/127. Darul Kutub Al ‘Ilmiah). Namun, apa yang dikatakannya perlu ditinjau lagi, sebab tidak ada dalam musnad Ahmad seperti apa yang dikatakannya itu (yakni tambahan ‘alaih akharan).

Hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil, sebab hadits ini secara umum membicarakan tentang keutamaan Islam, sama sekali tidak membicarakan warisan.

Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi Rahimahullah mengatakan:

والمراد من حديث الإسلام فضل الإسلام على غيره وليس فيه تعرض للميراث فلا يترك النص الصريح

Maksud hadits ini adalah tentang keunggulan Islam dibanding agama lainnya, dan hadits ini tidak ada pembicaraan tentang warisan, maka jangan alihkan makna nash yang begitu jelas ini. (‘Aunul Ma’bud, 8/86)

Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengatakan:

وَحُجَّة الْجُمْهُور هَذَا الْحَدِيث الصَّحِيح الصَّرِيح ، وَلَا حُجَّة فِي حَدِيث " الْإِسْلَام يَعْلُو وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ " لِأَنَّ الْمُرَاد بِهِ فَضْل الْإِسْلَام عَلَى غَيْره ، وَلَمْ يَتَعَرَّض فِيهِ لِمِيرَاثٍ ، فَكَيْفَ يُتْرَك بِهِ نَصُّ حَدِيث ( لَا يَرِث الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ ) وَلَعَلَّ هَذِهِ الطَّائِفَة لَمْ يَبْلُغهَا هَذَا الْحَدِيث

“Alasan jumhur ulama dengan hadits ini adalah benar dan jelas. Dan tidak dibenarkan berdalil dengan hadits “Islam adalah tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya” sebab maksud hadits ini adalah tentang keunggulan Islam dibanding yang lainnya, tidak ada indikasi pembicaraan tentang warisan. Bagaimana bisa meninggalkan nash “Seorang muslim tidaklah mewariskan orang kafir ..”, semoga penyebabnya adalah karena kelompok ini belum sampai hadits ini kepada mereka.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/496. Mauqi Ruh Al Islam) Demikian. Wallahu A’lam.

X. Tingkatan Kekafiran Ahli Kitab
Kaum Ahli Kitab, walau mereka kafir, mereka tidak pada pada derajat kekafiran yang paling parah. Para ulama telah membuat klasifikasi (ashnaaf) mereka sebagai berikut, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al Kisani Rahimahullah:

صِنْفٌ مِنْهُمْ يُنْكِرُونَ الصَّانِعَ أَصْلاً ، وَهُمُ الدَّهْرِيَّةُ الْمُعَطِّلَةُ .

وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ بِالصَّانِعِ ، وَيُنْكِرُونَتَوْحِيدَهُ ، وَهُمُ الْوَثَنِيَّةُ وَالْمَجُوسُ .

وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ بِالصَّانِعِ وَتَوْحِيدِهِ ، وَيُنْكِرُونَ الرِّسَالَةَ رَأْسًا ، وَهُمْ قَوْمٌ مِنَ الْفَلاَسِفَةِ .

وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ الصَّانِعَ وَتَوْحِيدَهُ وَالرِّسَالَةَ فِي الْجُمْلَةِ ، لَكِنَّهُمْ يُنْكِرُونَ رِسَالَةَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى

Kelompok yang mengingkari adanya pencipta, mereka adalah kaum dahriyah dan mu’aththilah (atheis).

Kelompok yang mengakui adanya pencipta, tapi mengingkari keesaanNya, mereka adalah para paganis (penyembah berhala) dan majusi.

Kelompok yang mengakui pencipta dan mengesakanNya, tapi mengingkari risalah yang pokok, mereka adalah kaum filsuf.

Kelompok yang mengakui adanya pencipta, mengeesakanNya, dan mengakui risalahNya secara global, tapi mengingkari risalah Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka adalah Yahudi dan Nasrani. (Al Bada’i Ash Shana’i, 7/102-103, lihat juga Al Mughni, 8/263)


Pertanyaan Kedua: Bolehkah Menziarahi Non Muslim yang Wafat?

Kita hidup di negara yang mayoritas muslim. Namun, di kanan-kiri kita ada non muslim yang juga memiliki hak sosial bersama kita. Umat Islam tidak dilarang tetap berbuat baik dan adil kepada non muslim yang baik-baik, yang tidak mengganggu umat Islam, dan mau berdampingan dengan kaum muslimin.

Allah Ta’ala berfirman;

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al Mumtahanah (60): 8)

Imam Ibnu Hibban mengatakan –sebagaimana dikutip oleh Imam Al Mawardi:

فلا تغلوا في مقاربتهم ، ولا تسرفوا في مباعدتهم

Jangan melampaui batas dalam berdekatan dengan mereka, dan jangan berlebihan dalam menjauhi mereka. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, An Nukat Wal ‘Uyun, 4/262. Mawqi’ At Tafasir)

Begitu pula ketika mereka mendapatkan musibah seperti kelaparan, dirampok, kepanasan, tidak punya pakaian, dan sejenisnya, kita tetap dibenarkan untuk berbuat baik kepada mereka.

Sama halnya dengan ketika mereka sakit dan wafat, apalagi jika itu dapat menarik mereka dan keluerganya kepada Islam. Telah masyhur kisah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjenguk seorang Yahudi yang sakit, padahal begitu jahat Yahudi itu kepadanya, hingga akhirnya Yahudi itu mau memeluk Islam. Kisah ini ada dalam Adabul Mufrad-nya Imam Bukhari.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berdiri ketika lewat dihadapannya mayat Yahudi, sebagai bentuk penghormatan sesama manusia.

Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, berkata:

مَرَّتْ جَنَازَةٌ فَقَامَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْنَا مَعَهُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا يَهُودِيَّةٌ فَقَالَ إِنَّ الْمَوْتَ فَزَعٌ فَإِذَا رَأَيْتُمْ الْجَنَازَةَ فَقُومُوا

Ketika lewat jenazah, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdiri untuknya, dan kami berdiri juga bersamanya. Kami berkata: “Wahai Rasulullah, itu jenazah Yahudi.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya kematian itu menggetarkan, jika kalian melihat jenazah berdirilah.” (HR. Muslim No. 960)

Riwayat lain:

أَنَّ قَيْسَ بْنَ سَعْدٍ وَسَهْلَ بْنَ حُنَيْفٍ كَانَا بِالْقَادِسِيَّةِ فَمَرَّتْ بِهِمَا جَنَازَةٌ فَقَامَا فَقِيلَ لَهُمَا إِنَّهَا مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَقَالَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّتْ بِهِ جَنَازَةٌ فَقَامَ فَقِيلَ إِنَّهُ يَهُودِيٌّ فَقَالَ أَلَيْسَتْ نَفْسًا

Bahwa ketika Qais bin Saad dan Sahal bin Hunaif sedang berada di Qadisiyah, tiba-tiba ada iringan jenazah yang lewat, maka keduanya berdiri. Lalu dikatakan kepada keduanya: Jenazah itu adalah termasuk penduduk setempat (maksudnya orang kafir). Mereka berdua berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah dilewati iringan jenazah, lalu beliau berdiri. Lalu dikatakan: “Jenazah itu Yahudi,” Beliau bersabda: “Bukankah ia juga manusia?” (HR. Muslim No. 961)

Nah, tidak mengapa ta’ziyah kepada mayat non muslim, dan ini menjadi pendapat jumhur ulama.

يجوز للمسلم أن يعزي غير المسلم في ميته وهذا قول جمهور أهل العلم وذكر العلماء عدة عبارات تقال في هذه التعزية منها :

- أخلف الله عليك ولا نقص عددك .

- أعطاك الله على مصيبتك أفضل ما أعطى أحداً من أهل دينك . المغني 2/46 .

- ألهمك الله الصبر وأصلح بالك ، ومنها : أكثر الله مالك وأطال حياتك أو عمرك

- ومنها لا يصيبك إلا خير . أحكام أهل الذمة 1/161 .


Boleh bagi seorang muslim berta’ziyah kepada mayat non muslim. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Para ulama menyebutkan beberapa ucapan yang bisa diucapkan ketika berta’ziyah kepada mereka. Di antaranya:

- Semoga Allah menggantikan untukmu dan tidak mengurangi jumlahmu (maksudnya supaya tetap ada harta untuk membayar jizyah, pen)

- Semoga Allah memberikan kepadamu hal yang lebih baik dibanding pemberian seorang dari pemeluk agamamu. (Al Mughni, 2/46)

- Semoga Allah memberikanmu kesabaran dan memperbaiki keadaanmu, dan di antaranya juga: semoga Allah memperbanyak hartamu dan memanjangkan hidup dan usiamu.

- Juga: semoga tidak ada yang menimpamu kecuali kebaikan. (Ahkam Ahludz Dzimmah, 1/161). (Lihat Al Khulashah fi Ahkam Ahli Adz Dzimmah, 3/149)

Tapi, kebolehannya memiliki beberapa patokan:

1. Tidak ikut pada acara ritualnya
2. Tidak mendoakan ampunan bagi mereka
3. Tidak merendahkan diri di sana seakan mereka adalah kelompok yang benar

Jika kita tidak mampu menjaga hal-hal ini, maka sebaiknya tidak berta’ziyah, demi menjaga keselamatan aqidah kita.

Demikian. Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan


http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/259
Share this article :

0 komentar:

Bagaimana pendapatmu?

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RUMAH SEMANGATKU - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger